Sudah lama aku
mendengar cerita tentang Cangkir Kembar,namun mata kepalaku belum pernah
menyaksikan bagaimana cangkir kembar itu sehingga aku hanya bisa menduga-duga
bahwa cangkir kembar itu mirip dengan anak kembar siang yang cangkirnya dua dan
pegangannya cuma satu.Menurut Santi, teman kuliahku,yang pernah menyebut
istilah cangkir kembar,mengatakan bahwa cangkir langkah ini hanya ada di
kampungnya dan khusus diperuntukkan bagi para bangsawan yang bergelar ‘karaeng’
atau bangsawan ‘daeng’ tetapi mau diperlakukan seperti karaeng,pada pesta atau
jamuan yang dilakukan oleh non bangsawan yang dikampungnya diistilahkan dengan
‘golongan rakyat’.
Lima tahun
kemudian temanku,Santi menggelar pesta atas pernikahan adiknya.Santi berasal
dari keluarga golongan rakyat,jadi ini kesempatan bagiku untuk menyaksikan langsung
cangkir kembar itu,sebagaimana yang pernah dikatakan Santi bahwa orang yang
segolongannya wajib menyiapkan cangkir kembar untuk melayani minuman bagi
laki-laki bangsawan kelas atas di kampungnya.”Biar anak-anak ?”,tanyaku.”Biar
anak-anak kalau duduk bersama dengan bangsawan di bawahnya atau rakyat harus
dilayani dengan cangkir kembar”,jawab santi.”Kalau laki-laki karaeng berjumlah
sepuluh berarti harus menyiapkan sepuluh cangkir kembar dong,berarti dua puluh
cangkir ?”,tanyaku lagi.”ya, begitulah”,jawab Santi.”Apakah tidak merepotkan
tuan rumah ?”,tanyaku lagi.”ya tentu merepotkan tetapi apa mau dikata,adat yang
memaksa kami demikian karena kalau tidak dilayani seperti itu istri mereka akan
marah-marah,bahkan bisa mengamuk”,jawab Santi.”Astagfirullah,tamu yang
marah-marah hanya karena pelayanan tuan rumah seperti itu,apakah mereka tidak
berpendidikan sehingga masih mempertahankan adat-adat kuno yang mempertahankan
kesombongan seperti itu ?”tanyaku lagi.”Tentu mereka berpendidikan bahkan sarjana
namun demi kebangsawanannya,adat seperti ini harus dipertahankan”,jawab
santi.”Apakah tidak ada tokoh agama yang bisa mengingatkan bahwa membangga-banggakan
keturunan adalah kesombongan yang amat dibenci Allah ?”,tanyaku lagi.”Siapa sih
yang berani,mereka semua kan orang besar sedangkan kami semua orang kecil,sudah
lumayan sekarang dibanding beberapa tahun yang lalu kami rakyat kecil harus
melayani para bangsawan dengan ‘dulang’ bagi ibu-ibunya”,jawab Santi.
Aku sengaja bermalam
di kampung Santi karena kuingin menyaksikan langsung pelayanan dengan cangkir
kembar itu.Sorenya aku sempatkan diri ngobrol dengan ibu-ibu keluarga
Santi.”Begitulah di kampong ini kami
kadang serba salah kalau mengadakan pesta karena membeda-bedakan tamu,karena
yang menuntut pelayanan secara adat hanyalah orang bangsawan kampung
ini,sedangkan tamu lain yang mungkin juga bangsawan kita layani dengan
biasa,terkadang merekapun protes dan kalau dilayani semua seperti itu,tentu
sangat merepotkan bagi kami dan kalau mereka tidak dilayani seperti itu kami
yang mengadakan pesta menjadi sasaran kemarahannya”,ungkap Manta,istri Sanne
padaku.”Mungkin mereka khawatir kalau tidak dilayani seperti itu,kalian tidak
akan mengakui kebangswanannya”, dugaanku.” Kami sebagai rakyat di kampung ini sangat
mengakui strata sosial mereka,apabila merekapun menghargai kami.Kami
menghormati seseorang bukan karena gelar bangsawaannya melainkan karena budi
pekertinya yang terhormat,bukankah begitu yang diajarkan agama ?.Untuk apa kita
hargai namanya,kalau perbuatannya tercela dalam agama seperti pemabuk,penjudi
ataupun pencuri,bukankah bangsawan yang sesungguhnya adalah keluhuran budi
pekerti dan ketaatan beragamanya ?,mereka selalu merendahkan,dilarang duduk di
kursi bersama mereka”,balas Manta’ sambil melihat sekelilingnya,takut jangan
sampai ada yang mendengar omongannya.Dari pengakuan beberapa keluarga Santi
dapat kusimpulkan bahwa pelayanan dengan cangkir kembar sebenarnya sudah
ditolak oleh rakyat sebagaimana mereka telah menolak pelayanan dengan dulang,hanya
karena golongan bangsawan masih berusaha mempertahankannya sehingga rakyatpun
dengan terpaksa melakukannya.
Malam
harinya,usai menggelar acara barzanji,ibu-ibupun sibuk menghidangkan minuman teh
dan berbagai jenis kue kepada jemaah barzanji.Cangkir-cangkirpun disebarkan,ada
yang diberi satu cangkir dan tiga orang diberi dua cangkir.”Wah,inilah
barangkali yang dimaksud dengan cangkir kembar”, batinku,sedangkan aku dan
lainnya hanya ada satu cangkir. Kucoba kuambil satu cangkir lalu kupindahkan ke
orang dekatku yang belum dapat,namun orang yang melihatku langsung mengambilnya
lalu mengembalikan ke cangkir pasangannya.Orang yang diberi dua cangkirpun lalu
menatapku,seakan-akan bertanya,”tidak tahu ya bahwa aku bangsawan atas di kampung
ini ?”.
Usai minum teh
kuperhatikan cangkir kembar yang ada di sampingku,ternyata yang mereka minum cuma
satu cangkir,kalau begitu “yang secangkir itu untuk siapa ?,kalau tidak diminum
berarti mubazir,bukankah agama melarang kita mubazir karena mubazir adalah
teman setan ?”,batinku. ”Kiminum tehta,Kareng masih ada satu cangkir”,ucapku
yang disambut tawa oleh beberapa tamu, sedangkan yang kupersilahkan cuma diam
menatapku.Insiden terjadi saat acara minum teh usai.Cangkir kembar yang
diangkat Sinta,sepupu Santi tiba-tiba jatuh dan mengenai kepala seorang tamu
perempuan.Selain kepala tamu itu basah,cangkir pun pecah.”Kubilang memang satu
saja cangkir,tapi kau bilang takut..takut..,liatmi tidak diminumji semua ”,ujar
Sumi dari dalam.Tamu yang basahpun memarah-marahi tuan rumah.
Setelah tetamu
pulang,kupertanyakan tetamu itu pada Santi terutama yang diberi cangkir
kembar.”Kalau yang di depanmu tadi,itu Karaeng Se’re anaknya Karaeng Sirua.Kalau
yang disampingya namanya Karaeng Tallu anaknya Karaeng Appa,kalau yang
disampingmu namanya Karaeng Lima anaknya Daeng Ngannang,kalau yang lain-lainnya
daeng-daengji semua,sedangkan yang duduk paling ujung dekat pintu adalah
golongan rakyat”,jawab Santi.”Mengapa yang satu itu dipanggil karaeng padahal
ayahnya cuma daeng,bukankah dalam aturan adat daerah kita yang menganut sistem
patriliniar, kebangsawanan anak ikut pada kebangsawanan ayah ?,kalau di
kampungku, Santi, seorang anak tidak bisa digelar karaeng kalau hanya ibunya
yang karaeng sedangkan ayahnya hanya daeng,berarti masyarakat di kampungmu
belum mengerti adat daerah kita.Memberi gelar kebangswanan itu ada aturan
adatnya,jadi kita tidak bisa seenaknya memberi gelar karaeng pada anak kalau
ayahnya hanya seorang daeng apalagi kalau gelar itu bisa merepotkan orang lain dan
hanya untuk mendapatkan cangkir kembar,atau dengan gelar itu mereka
meninggi-ninggikan dirinya lalu merendahkan orang lain”, protesku.”Yaaaa,apa
mau dikata bagi rakyat seperti kami,kami tak perlu tahu apakah sesuai atau
tidak sesuai dengan aturan adat yang jelas itulah yang terjadi di kampung
ini”,balas Santi.
Mendengar azan
Subuh di masjid,akupun bangun lalu bergegas pergi ke masjid. Astagfirullah,jemaah
Subuhnya tidak cukup setengah baris.”Ihh,di mana semua lelaki Islam di kampung
ini,kira tadi malam banyak yang ikut barzanji ?”,tanyaku pada imam
shalat.”Begitulah kampong ini,kesadaran beragamanya masih rendah,hanya kami
yang bisa shalat Subuh bila diluar Ramadhan”,jawab Pak
Imam.”Astagfirlullah,Allah yang memanggil umat Islam untuk beribadah di masjidnya,lalu
yang memenuhinya cuma beberapa orang yang sudah berbau tanah dan seorang yang
masih kencur, dibanding tadi malam jemaah barazanjinya yang berdesak-desakan
?”,ungkapan keherananku. ”Berarti kapatuhan pada adat masyarakat kampung ini
jauh lebih tinggi dibanding kepatuhan pada agamanya,bayangkan kalau Allah yang
memanggilnya beribadah di masjid mereka tidak mau memenuhinya,tetapi kalau
sesama manusia yang memanggilnya untuk barzanji di rumahnya mereka
berlomba-lomba,apakah karena di masjid tidak ada teh atau kue sehingga tidak
mau memenuhi panggilan Allah sedangkan memenuhi panggilan barzanji karena ada teh
dan kuenya ?,keterlaluan amat umat Islam di kampong ini,nauzubillah”,tambahku.”Mau
diapai pale,kita sudah berusaha memberi kesadaran bagi mereka tetapi mereka tidak
mau sadar”,balas Pak Imam dan jemaahpun bubar.
Lima tahun
kemudian Santi menikah dan mengundangku.Seperti dulu,aku bersama keluargaku
bermalam di rumah Santi.Cangkir kembar yang dulu terkenal di kampong ini
nampaknya telah tiada.”Alhamdulillah kepala desa yang baru telah mereformasi
adat dengan mempertimbangkan aspirasi golongan rakyat”,jawab Santi atas
pertanyaanku.”Adat tetap ada,cuma disesuaikan dengan zaman dan tuntutan
rakyat,cangkir kembar tidak dipakai lagi begitupun gelar karaeng hanya dipakai
oleh seorang bangsawan yang ayahnya bergelar karaeng,dan ternyata kami lebih
ihlas melayani mereka disbanding dulu yang selalu merasa
terpaksa”,tambahnya.Masjidpun menjadi ramai jemaah,nampakkan kesadaran
beragamanya telah tumbuh.”Alhamdulillah selama dibiarkannya jemaah tablig
berdakwah di masjid ini,ilmu dan kesadaran beragama masyarakat
meningkat,dibanding dulu kala menolak kehadiran jemaah tablig”,ungkap Pak Imam
padaku.”Memangnya kenapa itu jemaah tablig”,tanyaku.”Saya juga tidak tahu kenapa
pengurus masjid menolaknya,padahal mereka datang cuma untuk berdakwah mendorong
kita untuk memakmurkan masjid bukan untuk datang menyebarkan ajaran
sesat”,tambahnya.”Coba kitanya masyarakat lain yang selalu kedatangan jemaah
tablig,adakah jemaah tablig itu menyebarkan ajaran sesat ?,adakah mereka
memaksa kita untuk ikut dengannya ?,tidak kan ?”,balasku.”kamu juga jemaah
tablig ?”,Tanya Pak Imam yang mungkin curiga karena pakaianku mirip jemaah
tablig.”Bukan,tetapi mendukung usaha dakwahnya demi kesadaran beragama dan
kemakmuran masjid,saya tidak terikat pada organisasi apapun,yang kulakukan
adalah yang diajarkan oleh Allah dan rasul-Nya melalui Al Quran dan
hadis,makanya jangan muda berprangka buruk pada orang lain,timbanglah sesuatu
menurut neraca Al Quran dan hadis,kalau ada yang sesuai kita dukung dan wajib
diikut,tetapi yang bertentangan kita tolak dan tingggalkan.Jadi menerima atau
menolak sesuatu harus dengan dasar ilmu,bukan dengan nafsu.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar